OMNIBUS LAW MENGABAIKAN PRINSIP HALAL?
Oleh: Khaswar Syamsu*
* Kepala Pusat Kajian Sains Halal IPB, University
Sebagiamana disampaikan oleh pemerintah bahwa Omninus Law Ciptaker mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk memudahkan investasi guna menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Dalam konteks halal, Omnibus Law dibuat untuk memudahkan pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal karena dengan UU no 33 tahun 2014 UU Jaminan Produk Halal dimasukkan ke dalam klaster perijinan sehingga sertifikasi halal sudah menjadi semacam izin edar untuk pasar di Indonesia. Tujuan baik ini tentunya juga harus dicapai dengan cara yang baik, yaitu tidak melanggar prinsip dasar halal itu sendiri karena sertifikasi halal sejatinya adalah untuk melindungi konsumen muslim dari memakan atau termakan bahan yang tidak halal dari sisi agama Islam. Untuk itu, tulisan ini memberikan beberapa catatan evaluasi kritis agar tujuan mulia tersebut tidak justeru melangggar prinsip halal itu sendiri.
Pasal sisipan 4A, ayat 1 pada Omnibus Law menyatakan bahwa “Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil”. Kemudian pada pasal sisipan 4A, ayat 2: “Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.”
Sertifikat halal semestinya tidak bisa berdasarkan pernyataan sendiri (self declare /self claim) oleh pelaku usahatanpa ada bukti dan verifikasi. Kalau semua bisa dinyatakan halal sendiri oleh pelaku usaha (walaupun belum tentu halal), maka tidak ada gunanya sertifikasi halal. Selain itu apakah standar kehalalan yang ditetapkan oleh BPJPH telah disusun dan disepakati oleh MUI? Jika tidak maka apa dasar penetapan halal oleh BPJPH? Karena halal adalah aturan agama, maka standar halal BPJPH harus bersandar kepada fatwa halal sebagai acuan.
Pasal ini semestinya tidak berlaku umum untuk semua UMKM, tapi tergantung kepada resiko peluang keharamannya. Hal ini masih dimungkinkan untuk produk yang tidak beresiko yaitu produk yang yang semua bahan yng digunakan adalah bahan bahan yang sudah jelas halal (positive list materials). Bahkan untuk poduk yang demikian sesungguhnya tidak perlu sertifkat halal, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa “ Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas. Diantara keduanya ada yang belum jelas (syubhat)”. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk UMKM yang mempuyai resiko peluang keharaman yang tinggi, yaitu produk yang menggunakan daging dan/atau turunan daging sebagai bahan, baik sebagai bahan utama, maupun bahan tambahan atau bahan pembantu dalam proses produksi produknya; atau untuk produk yang fasilitasnya produksi juga digunakan untuk produk haram. Karena itu, self declare atau self claim tetap harus diverifikasi, atau dijamin oleh pihak lain yang bukan pelaku usaha, misalnya penyelia halal (halal supervisor) dari ormas Islam atau Pusat Kajian Halal dari Perguruan Tinggi.
Dalam pasal 14 ayat 2, pada UU JPH tahun 2014 disebutkan pada point f bahwa ”salah satu syarat pengangkatan auditor halal oleh LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) adalah memperoleh sertifkat dari MUI”. Namun pada UU Omnibus Law, point tersebut dihilangkan/dihapus sehingga tidak perlu memperoleh sertifikat dari MUI.
Sertifikat dari MUI itu sesunggguhnya adalah Sertifikat Kompetensi dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) Republik Indoneesia. Audit halal adalah kegiatan yang sungguh-sunggguh, bukan kegiatan ecek ecek formalitas untuk menghasilkan sertifkasi halal. Auditor halal adalah suatu profesi yang memerlukan pengetahuan dan keahlian serta sikap yang kompeten untuk sertifikasi halal sebagiamana profesi pengacara, dokter, dan profesi lainnya. Untuk Auditor Halal, sertifikasinya didelegasikan oleh BNSP kepada LSP (Lembaga Sertifkasi Profesi) MUI. Bagaimana auditor akan melaksanakan audit yang benar dan bisa dipercaya apabila auditornya sendiri tidak kompeten untuk melakukan tugas itu? Karena itu Auditor halal harus kompeten untuk melakukan audit halal yang dibuktikan oleh Sertifikat Kompetensi sebagai Auditor Halal oleh BNSP melalui LSP MUI.
Pasal 48 pada Omnibus Law, ada revisi dari pasal 13 UU JPH pada point b dimana “LPH memerlukan akreditasi dari BPJPH”. Point ini dihilangkan pada UU Omnibus Law. Hal ini bertentangan dengan UU JPH pasal 10 dimana salah satu tugas dari BPJPH dan MUI adalah memberikan akreditasi kepada LPH. Akreditasi LPH perlu dilakukan oleh BPJPH dan MUI karena substansi halal sesungguhnya adalah ranah (domain) nya MUI. Tanpa melibatkan MUI dalam akreditasi LPH maka tidak ada penilaian dan jaminan pemenuhan syarat kesesuaian dengan syariah.
Pasal sisipan pasal 35A ayat 1: “Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi”. UU Omnibus Law seyogianya tidak hanya berpihak kepada pelaku usaha dan berlaku tidak adil kepada LPH. Keterlambatan bisa jadi tidak hanya oleh LPH, tetapi juga bisa oleh pelaku usaha yang tidak atau lambat melengkapi dokumen yang diperlukan. Ada potensi bahwa LPH yang tidak berintegritas akan melanjutkan proses sertifikasi halal walaupun dokumen pendukung halal tidak lengkap karena takut terkena sanksi oleh BPJPH. Adalah tidak adil kalau kesalahan hanya ditimpakan kepada LPH. Apabila keterlambatan disebabkan oleh pelaku usaha maka aplikasi semestinya dikembalikan kepada pelaku usaha untuk dilengkapi tanpa harus memberi sanksi kepada LPH.
Pasal sisipan 35A ayat 2: “Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/ menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal”. Sertifikat Halal bukanlah perijinan, tetapi perlidungan konsumen dari mengkonsumsi produk haram. Ketetapan Halal atau Fatwa Halal bisa ditetapkan jika dan hanya jika semua persyaratan untuk bisa dinyatakan halal terpenuhi. Tentu Komisi Fatwa tidak bisa menyatakan produk itu halal apabila masih ada bahan yang diragukan kehalalannya karena tidak didukung oleh dokumen pendukung halal yang absah (valid) dan memadai. Apabila Komisi Fatwa tidak mengeluarkan Ketetapan atau Fatwa Halal dalam waktu yang ditentukan maka aplikasi seharusnya dikembalikan kepada perusahaan untuk melengkapi dokumen pendukung halal sehingga bisa difatwakan halal, bukan dengan menghalalkan sesuatu yang masih belum jelas kehalalannya.
Apabila BPJPH tetap menerbitkan sertifikat halal yang tidak didukung oleh fatwa halal, atau BPJPH “memfatwakan sendiri” kehalalan produk yang belum tentu halal maka tidak ada gunanya Sertifikasi Halal dan Undang Undang Jaminan Produksi Halal. Lebih baik UU JPH dihapuskan saja sehingga tidak diperlukan juga UU Omnibus Law untuk Jaminan Produksi Halal kalau keberadaan UU JPH ini dianggap mempersulit dunia usaha. Biarlah Sertifikasi Halal bersifat sukarela (voluntary) sebagaimana sebelum ada UU Jaminan Produk Halal asalkan produk yang memiliki Sertifikat Halal tersebut memang betul betul dapat dipertanggungawabkan kehalalannya daripada ada Sertifikat Halal tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kehalalannya.
Apabila sertifikasi halal ini hanya dijadikan sebagai perijinan semata maka salah satu dasar penetapan kehalalan berdasarkan ilmul yaqin (scientific judgement) dan ainul yaqin (keyakinan berdasaarkan hasil audit) tidak digunakan lagi. Hal ini dapat mematikan pemikiran-pemikiran inovatif anak bangsa untuk menghasilkan alternatif bahan halal yang dapat dihasilkan oleh bangsa sendiri sebagai pensubstitusi bahan yang haram. Apabila hal hal yang disampaikan ini tetap dipaksakan maka akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri dimana umat Islam bisa jadi tidak mempercayai sertifkat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH karena dilakukan oleh auditor yang tidak kompeten, diaudit oleh LPH yang tidak berintegritas dan tidak dapat dipercaya, dan difatwakan oleh pihak yang tidak kompeten dan berwenang untuk mengeluarkan fatwa. Wallahualam.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.
heylink.me/Nexiabet.link
I recently tried [url=https://killakush.com/product-category/cannabis-vape/ ]cannabis vapes[/url] , and I’m extraordinarily impressed with the quality. The effects were slick, calming, and scrupulously what I was hoping for. The miscellany of options also allowed me to learn something made-to-order in the direction of both relaxing evenings and rich days. Definitely second after anyone seeking great results!
I recently tried https://killakush.com/product-category/thca-pre-rolls/ , and I’m in actuality impressed with the quality. The effects were slick, calming, and exactly what I was hoping for. The contrast of options also allowed me to upon something skilful an eye to both relaxing evenings and productive days. Once second for anyone seeking great results!
hi, thanks!: flipgg
hi, thanks!: flipgg
I was skeptical relative to CBD at commencement, but after exasperating them like [url=https://joyorganics.com/collections/usda-certified-cbd-oil-tinctures ]buy cbd oil tincture[/url], I’m really impressed. They submit a suitable and enjoyable technique to take CBD without any hassle. I’ve noticed a calming object, remarkably in the evenings, which has helped with both anguish and sleep. The finery some is the pre-measured dosage, so there’s no guessing involved. If you’re looking for an unhurried and shreds way to acquaintance CBD, gummies are obviously value in the light of—fair-minded modify sure to secure from a honourable brand!